24 Mar 2013

City of Ashes - Cassandra Clare

Judul: City of Ashes
Seri: The Mortal Instruments #2
Penulis: Cassandra Clare
Penerjemah: Melody Violine
Penerbit: Ufuk Press, 2010
Tebal: 610 hlm.
ISBN: 9786028801300

Sinopsis:
Clary hanya ingin hidup normal kembali, tapi ia telanjur terlibat dengan para Pemburu Bayangan yang bertugas membantai iblis. Masalah semakin menjadi-jadi karena ibunya tidak bisa dibangunkan dan Clary tidak bisa berhenti mencintai Jace. Tentu saja ini menyakiti hati Simon, yang mendadak pergi ke sarang vampir seorang diri. Valentine pun datang lagi, kali ini untuk mengambil Pedang Mortal. Lagi-lagi dia menawari Jace untuk ikut dengannya. Ketika Jace diketahui telah pergi untuk menemui Valentine, akankah Clary tetap memercayainya?

Dalam sekuel City of Bones ini, ketegangan menanjak dan konflik semakin tajam!

Lebih seru! Buku kedua serial The Mortal Instruments ini menyajikan konflik yang lebih tajam dari buku pertama. Valentine, yang kabur melewati cermin portal para buku pertama, tengah menyiapkan rencana untuk menyerang Idris, kampung halaman para Pemburu Bayangan. Ia mencuri Instrumen Mortal kedua, yaitu Pedang Jiwa, dari Persaudaraan Hening. Pedang yang aslinya digunakan malaikat untuk membasmi iblis itu akan diubah oleh Valentine menjadi alat untuk memanggil pasukan iblis dari dimensi lain untuk membantunya menyerang Idris. Mampukah Clary dan kawan-kawan menghentikan Valentine?

Membaca buku kedua ini, persaaan saya campur aduk. Kehadiran sang Inkuisitor dari Idris untuk menginterogasi Jace yang dicurigai sebagai mata-mata Valentine mampu memancing emosi saya. Bagaimana tidak, sosok wanita yang keras dan kejam ini mengingatkan saya kepada Profesor Umbridge dalam Harry Potter dan Orde Phoenix. Tidak hanya menolak memercayai Jace, sang Inkuisitor tak segan-segan menyiksa Jace secara mental maupun fisik, termasuk mengirim cowok itu ke penjara di bawah pengawasan Persaudaraan Hening, yaitu sebuah penjara yang biasanya digunakan mengurung para penjahat berbahaya. Tak heran sang Ikuisitor bertindak di luar batas, karena hal tersebut dilatarbelakangi dendam pribadinya terhadap ayah Jace.

Kunjungan Clary dan kawan-kawan ke istana Ratu Peri Seelie, meskipun menegangkan tapi juga kocak. Saat Ratu hendak menahan Clary, ia mengajukan syarat berupa sebuah ‘ciuman’ agar Clary bisa bebas. Awalnya syarat yang diajukan ratu kurang jelas, sehingga yang hadir di tempat itu saling mengajukan diri, tapi ada juga juga yang berusaha menolak ciuman. Kacau sekali! Haha. Yeah, sayangnya adegan lucu ini berakhir dengan salah satu karakter yang mengalamai patah hati parah. Saya jadi kepingin mempuk-puk si *sensor*. :(

Menurut perkataan Ratu Seelie, Valentine pernah melakukan eksperimen kepada Clary dan Jace, sehingga kedua remaja ini memiliki semacam kemampuan yang tidak dimiliki Pemburu Bayangan pada umumnya. Cerita menjadi semakin menarik, sebab akhirnya Clary memahami cara menggunakan kemampuannya. Akhirnya... Clary lebih banyak gunanya di buku ini. Gadis itu bisa menggunakan rune sesuai dengan keinginannya, walau rune-rune tersebut belum pernah ia pelajari sebelumnya. Misalnya, ia mampu menciptakan rune yang membuat penggunanya menjadi tidak memiliki rasa takut. Saat mengaplikasikan rune tersebut kepada Alec, cowok itu hampir saja berterus terang kepada orang tuanya tentang hubungan rahasianya dengan Magnus, kalau saja Magnus tidak cepat-cepat mencegah Alec. Sementara Jace, kemampuannya sendiri berhubungan dengan hal-hal fisik, misalnya melakukan moon jump (oke, kata ini ini saya comot dari istilah dalam cheat video game, hehe), di mana ia bisa melakukan lompatan yang nyaris mustahil. Oh ya, tak hanya Clary dan Jace loh yang mengalami power upgrade, Simon juga mengalami transformasi yang luar biasa. Saya tak ingin membocorkannya di sini, yang jelas kalimat “cuma seorang kaum Fana” tidak berlaku lagi bagi Simon. Very cool!

Kehadiran tokoh-tokoh baru dalam buku ini menambah warna dalam cerita, di antaranya adalah Maryse and Robert Lightwood (ayah dan ibu Isabelle dan Alec), serta Max, putra bungsu keluarga Lightwood. Maryse memiliki karakter yang keras. Hal ini bertolak belakang dengan harapan saya, yang tadinya berharap Maryse adalah sosok ibu yang lembut dan penyayang seperti ibu Clary. Dialah yang kini mengepalai Institut di New York sejak kepergian Hodge. Karakter Robert sendiri sebenarnya tidak terlalu terekspos, karena kemunculannya dalam buku ini tidak terlalu banyak. Sementara Max, sangat mudah untuk menyukai bocah berkaca-mata ini. Penulis mendeskripsikan bocah ini mirip Simon, sahabat Clary, sewaktu masih kecil. Kemudian ada Maia, gadis werewolf yang muncul pertama kali di sebuah bar tempat berkumpulnya para werewolf. Ehem, Maia sepertinya memiliki ketertarikan kepada Simon.

By the way, setelah membaca dua buku The Mortal Instruments, saya menemukan sejumlah aspek dalam The Mortal Instruments yang mirip dengan serial Harry Potter. Beberapa yang bisa saya temukan adalah:
  1. Clary = Harry. Clary awalnya tidak tahu bahwa ia adalah Pemburu Bayangan. Harry juga awalnya tidak tahu kalau ia seorang Penyihir.
  2. Valentine. Tokoh antagonis ini dulunya adalah Pemburu Bayangan, tapi berbalik melawan Idris, karena memiliki cara pandang yang berbeda dengan Hukum Idris. Ia beranggapan bahwa makhluk selain Nephilim (keturunan malaikat) dan kaum Fana (manuisa biasa) tidak boleh dibiarkan hidup: yang dimaksud Valentine adalah warlock, peri, manusia serigala, vampir, dll. Padahal Hukum hanya memperbolehkan Pemburu Bayangan membasmi iblis. Pembaca pasti bisa mengambil kesimpulan tokoh Valentine ini mirip siapa? Yap, Voldemort. Kebetulan nggak sih, mereka memiliki nama dengan huruf awal yang sama? Sama seperti Valentine yang juga Pemburu Bayangan, Voldemort juga adalah Penyihir. Voldemort mulai menentang Kementerian Sihir sebab kementerian dianggapnya terlalu lembek kepada Muggle (manusia non-sihir) dan makhluk lain seperti peri rumah, goblin, kurcaci, centaurus, dsb.
  3. Instrumen Mortal terdiri dari 3 benda. Deathly Hallows (Relikui Kematian) juga terdiri dari 3 benda. Masing-masing relikui punya kehebatannya masing-masing. Kemampuannya tidak sama persis dengan Instrumen Mortal sih, tapi tetap saja hal ini merupakan kemiripan yang tidak boleh diabaikan.
  4. Profesor Umbridge = sang Inkuisitor. Bedanya, muka Inkuisitor gak mirip kodok. Hehe.
  5. Salah satu iblis kuat yang muncul dalam City of Ashes adalah Agramon, iblis pengubah wujud yang mampu mengubah dirinya menjadi sesuatu yang takuti seseorang dan sanggup membuat orang tersebut mati ketakutan. Kalo di Harry Potter mirip makhluk apa hayooo? Kalau kamu menjawab Dementor, jawabanmu kurang tepat. Yang betul adalah Boggart. Coba deh, cek lagi Harry Potter dan Tawanan Azkaban milikmu. :)
  6. Saat Magnus melakukan sihir memunculkan minuman (apa sama makanan juga? Lupa, hehe… *tepok jidat*) di apartemennya, ia berkata bahwa ia tidak bisa menciptakan benda-benta itu begitu saja. Ia hanya memindahkannya dari tempat lain. Ini mirip dengan peraturan sihir dalam dunia Harry Potter, di mana makanan adalah salah satu objek yang tidak bisa diciptakan. Ingat makanan yang melimpah ruah di Aula Besar? Makanan itu tidak diciptakan begitu saja, namun dipindahkan dari dapur (makanan tersebut dimasak oleh para peri rumah).
Untuk saat ini, segitu saja yang bisa saya temukan mengenai kemiripan The Mortal Instrumens dan Harry Potter. Kesimpulannya: Cassandra Clare adalah penggemar berat Harry Potter. Well, sejujurnya faktanya memang demikian. Sebelum dikenal sebagai penulis The Mortal Instruments, Cassandra Clare adalah penulis fan-fiction untuk fandom Harry Potter. See? Seorang penulis fanfiksi bisa jadi penulis beneran lho. Ayo, kamu yang biasa nulis fanfiksi, saya tunggu novel terbaru kamu. *colekin temen-temen fanfictioner*

Ah, review-nya malah kemana-mana. Overall, buku kedua ini lebih keren daripada buku pertama. Konfliknya lebih tajam, ditambah dengan adegan-adegan aksi yang lebih memukau. Terjemahannya juga oke. Saya kagum pada Cassandra Clare yang mampu menulis buku kedua jauh lebih baik dari buku pertama. Hal yang sama juga saya temukan pada buku kedua serial Charlie Bone. Soalnya tidak sedikit lho, penulis yang mengaku merasa kesulitan menulis buku kedua. Umumnya  pembaca juga kurang begitu menyukai buku kedua. Contoh nyata, ya J.K. Rowling sendiri. Meski buku keduanya (Harry Potter dan Kamar Rahasia) tetap menarik, tapi para penggemar Harry Potter selalu menempatkan buku tersebut di urutan paling bawah dari ketujuh buku Harry Potter. Saya salah satunya.

***

11 komentar:

  1. Cassandra Clare, RJ Anderson, dan masih ada beberapa lagi penulis yg mulainya dari nulis fanfiksi Harry Potter. RJ Anderson malah, udah nulis buku, masih nulis fanfiksi XDD

    BalasHapus
  2. yah, udah sampe buku kedua saja. Baru selesai buku pertama hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi, iya nih. bulan april ini rencananya mau baca buku ketiga. ayo dibaca. buku kedua lebih seru dibanding buku pertama. :)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Back to top