28 Jul 2014

People Like Us by Yosephine Monica

Judul: People Like Us
Penulis: Yosephine Monica
Penerbit: Penerbit Haru, Juni 2014
Tebal: 330 hlm.
ISBN: 978-602-7742-35-2

Sinopsis:
Akan kuceritakan sebuah kisah untukmu.
Tentang Amy, gadis yang tak punya banyak pilihan dalam hidupnya.
Serta Ben, pemuda yang selalu dihantui masa lalu.

Sepanjang cerita ini, kau akan dibawa mengunjungi potongan-potongan kehidupan mereka.
Tentang impian mereka,
tentang cinta pertama,
tentang persahabatan,
tentang keluarga,
juga tentang... kehilangan.

Mereka akan melalui petualangan-petualangan kecil, sebelum salah satu dari mereka harus mengucapkan selamat tinggal.

Mungkin, kau sudah tahu bagaimana cerita ini akan tamat.

Aku tidak peduli.
Aku hanya berharap kau membacanya sampai halaman terakhir.

Kalau begitu, kita mulai dari mana?

Amelia Collins (Amy) adalah gadis 15 tahun yang biasa-biasa saja. Akan tetapi, dia cukup terkenal di antara teman-temannya karena dua hal. Pertama, ia dikenal karena gemar menulis cerita fiksi yang ia posting di blog pribadinya. Cerita karangannya bagus, namun semuanya tak memiliki ending sehingga membuat orang-orang penasaran. Kedua, karena ia menyukai Benjamin Miller. Berawal dari pengakuan Amy kepada teman-teman dekatnya bahwa ia menyukai cowok itu, dan berakhir dengan tersebarnya berita tersebut ke seluruh sekolah. Ya, Amy memang menyukai Ben sejak lama, tepatnya ketika mereka berusia 12 tahun, saat masih di middle school. Amy dan Ben berada di kelas musik yang sama, namun Ben terlalu cuek untuk sekadar melirik Amy. Kenyataannya, Ben memang berusaha untuk menghindari dunia.

Benjamin Miller (Ben). Untuk ukuran anak muda seusianya, ia sudah mengalami berbagai kejadian pahit. Mulai dari ditinggal sang ayah karena kanker, hingga menjadi anggota keluarga yang paling tidak dianggap di rumahnya, membuat cowok itu cenderung sinis. Ia punya mimpi menjadi penulis, tapi karena kemampuannya merangkai kata tidak begitu bagus, ditambah lagi anggota keluarganya tidak mendukung, maka Ben membunuh impiannya itu dan mengalihkannya ke olah raga, tepatnya sepak bola (dan untungnya, Ben memang berbakat di bidang itu). Ben terlalu sibuk menenggelamkan dirinya dalam pikirannya sendiri, sehingga kabar bahwa Amy menyukainya hanya dianggap angin lalu olehnya. Malah, saat bertemu dengan Amy di high school, ia sama sekali tidak mengenal mengenal Amy, dan menganggap cewek itu penguntit (emang bener sih, gelagat Amy emang kayak stalker *LOL*).

Sayang sekali, cerita remaja yang awalnya terkesan ceria ini berubah kelam sejak negara api menyerang Amy didiagnosis mengidap limfoma (kanker limfa), membuat gadis itu harus meninggalkan sekolah. Teman-teman Amy yang mengetahui perasaannya terhadap Ben memaksa Ben untuk menjenguk Amy di rumah sakit, tanpa sepengetahuan cewek itu. Ben sebenarnya ogah. Ia tidak ingin terlibat hal apapun yang berhubungan dengan gadis penguntit itu. Tapi toh Ben akhirnya mengalah juga setelah merasa terdesak. Ia memutuskan untuk menemui Amy.

Amy tidak tahu bahwa Ben akan mengunjunginya. Alhasil, pertemuan mereka di ruang tempat Amy dirawat sangat canggung. Tapi ternyata itu adalah awal yang baru bagi mereka. Setelah Ben membaca cerita-cerita yang ditulis Amy, impian lama cowok itu untuk menjadi penulis kembali muncul. Ia bahkan membertahu mimpinya itu kepada Amy. Tentu saja Amy mendukung impian Ben. Gadis itu mengerti betul apa yang dirasakan Ben. Di lain pihak, Ben merasa telah menemukan seseorang yang mengerti dirinya. Berkat menulis, keduanya menjadi teman dekat. Mereka berdua sama-sama tahu bahwa Amy menyukai Ben. Namun, hubungan sebagai teman ternyata jauh lebih nyaman bagi mereka. Atau... tidak? :P

People Like Us adalah karya debut Yosephine Monica, cewek 17 tahun (kelahiran 1997) setelah memenangi kompetisi menulis bertajuk 100 Days of Romance yang diselenggarakan oleh Penerbit Haru tahun 2013 lalu. Saya bisa melihat mengapa karya ini keluar sebagai pemenang. Selain kisahnya yang cukup menggungah emosi, penulis cukup mahir dalam merangkai kalimat sehinga terasa enak dibaca. People Like Us adalah sebuah kisah remaja dan ditulis juga oleh remaja, namun itu tak lantas membuat novel ini menjadi novel cinta-cintaan ala eibiji yang terkesan dangkal. Konflik yang dibangun oleh penulis cukup apik, penulis berhasil menuntun pembaca menuju klimaks yang meski sejak awal telah diketahui oleh pembaca, namun tetap saja bikin nyesek! (Ugh, hatiku tersayat-sayat. *ngetik ripiu sambil elus dada* *dadanya Pamela Anderson* #HEH).

Novel ini ditulis dengan menggunakan sudut padang orang ketiga, dengan Amy dan Ben sebagai tokoh utama. Sudut pandang cerita disajikan bergantian antara Amy dan Ben, sehingga pembaca mendapatkan informasi secara utuh terhadap cerita. Saya pribadi sebenarnya lebih menyukai cerita dari sudut pandang orang pertama, sebab informasi yang terbatas hanya pada apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh tokoh utama, selain membuat pembaca merasa lebih dekat dengan sang tokoh, juga membuat pembaca diberi kebebasan untuk berimajinasi. Namun untuk novel ini, saya rasa penulis sudah melakukan tugasnya dengan baik.

Saya menyukai tokoh Amy. Meski pendiam dan tidak banyak omong, namun pada saat-saat tertentu gadis itu mampu mengungkapkan isi kepala secara blak-blakan. Saya juga mengagumi cara penulis mengembangkan karakter Ben. Terlihat sekali perbedaan karakter Ben sebelum dan sesudah bertemu Amy. Amy tak hanya sukses mengubah kepribadian Ben, tapi juga sukses menyentuh seluruh aspek kehidupan Ben. Tak hanya Amy dan Ben. Karakter-karakter lain dalam novel ini juga menarik. Antara lain Timothy (kakak Ben), Madge (adik Ben), Andrea (kakak Amy), dan Lana (sahabat Andrea yang keturunan Cina-Amerika yang punya sifat control freak dan keras kepala. Sesungguhnya Lana adalah karakter favorit saya nomor 1 di novel ini. Kedua Ben, ketiga Amy #dibahas).

Oh ya, novel ini berlatar negeri bule (persisnya, Boston) dengan karakter-karakternya yang orang bule juga. Membaca novel ini memberi kesan bahwa ini adalah novel terjemahan. Hanya saja, saya masih menemukan beberapa dialog yang rasanya kok kurang pas ya kalau diucapkan oleh orang bule. Juga, selama membaca novel ini, mau tidak mau saya membandingkannya dengan The Fault in Our Stars-nya John Green, walau kabarnya novel ini terinspirasi dari pengalaman teman penulis (siapa pun temannya itu, semoga diberi kekuatan dan kesembuhan. Amin).

Secara keseluruhan, saya menyukai novel ini. Saya kagum dengan kepiawaian penulis dalam merangkai kata dan alur cerita. Usia penulis masih belia tapi telah mampu menulis cerita sebaik ini, benar-benar patut diacungi jempol. Saya yakin di masa yang akan datang penulis dapat menghasilkan karya yang jauh lebih baik lagi. Saya sangat menantikan karya-karya Yosephine Monica selanjutnya. :)

Review ini untuk:

Baca dan Posting Bareng BBI Juli #2: Sicklit

2 komentar:

  1. 1997? Haiah, minder jadinya............. Dua tahun lebih muda dr aku tapi udah berhasil debut jd penulis. XD
    Kalo dari review kayaknya worth it ya buat dibeli, meskipun udah ketauan nih akhirnya gimana heuhuehuhuhu
    Btw, kang opan kata-katanya enak deh kalo nulis review. Ngalir :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tirtaa.. Makasih ya sudah berkunjung dan ninggalin jejak. Aku juga suka main ke blog "I Prefer Reading" tapi lebih sering jadi silent reader hehe. Love your blog! :)

      Hapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Back to top